Senin, 15 Februari 2010

MELURUSKAN KEMBALI ARTI PLURALISME AGAMA

MELURUSKAN KEMBALI ARTI PLURALISME AGAMA

Oleh : Wendi Zarman


Bismillaah, walhamdulillaah, wasshalaatu wassalaamu ‘alaa rasulillaah

Pluralisme Agama Bukan Toleransi Agama

Ketika MUI mengeluarkan fatwa haramnya pluralisme agama, banyak di antara umat Islam yang menentangnya. Mereka menganggap fatwa itu bertentangan dengan ajaran Islam yang menganjurkan bersikap toleran dengan penganut agama lain. Menurut mereka fatwa ini hanya akan memperburuk citra Islam. Padahal, adalah keliru menyamakan pluralisme agama dengan toleransi agama. Tapi inilah yang dijadikan senjata untuk memojokkan penentang pluralisme agama seperti MUI namun sayangnya banyak umat Islam terkecoh dengan trik ini.

Pada dasarnya pluralisme agama telah menjadi suatu istilah khusus yang mempunyai makna khusus pula dalam diskursus pemikiran Barat. Pluralisme agama tidak bisa dianggap sekedar pengakuan terhadap eksistensi penganut agama lain, tapi turut campur dalam membentuk keyakinan terhadap kebenaran ajaran agama. Adalah sangat disayangkan ada diantara umat Islam yang asal mendukung gerakan ini tanpa memeriksa dulu apa artinya dan bagaimana konsekuensi meyakininya.

Pengertian Pluralisme Agama

Di dalam pengertian filsafat pluralisme berarti : “a theory or sytem that recognize more than one ultimate principle” (Concise Oxford Dictionary) yang artinya suatu teori atau sistem yang mengakui bahwa terdapat lebih dari satu prinsip dasar. Ketika pluralisme disandingkan dengan agama menjadi pluralisme agama berarti suatu sistem yang mengakui bahwa terdapat lebih dari satu prinsip dasar agama. Pengakuan di sini bukan hanya dalam pengertian pengakuan terhadap eksistensi agama-agama tetapi juga pengakuan bahwa kebenaran bisa ditemukan di dalam berbagai agama.

Sekurangnya ada dua arus utama aliran pluralisme agama (Dr. Anis Malik Toha menyebut ada empat aliran pluralisme agama, lihat bukunya “Tren Pluralisme Agama”, diterbitkan oleh GIP). Pertama adalah aliran relativisme agama yang dicetuskan oleh John Hick. Menurut Hick, agama-agama di dunia pada dasarnya adalah respon beragam dari Realitas Yang Satu (baca : Tuhan). Ini mirip dengan cerita perdebatan beberapa orang buta yang hendak menerangkan apa itu gajah. Orang yang memegang belalai gajah menyebut gajah itu itu seperti ular, yang memegang kaki gajah menyebutnya seperti pohon, sedang yang memegang ekor gajah menyebut gajah itu seperti tali.

Secara sederhananya, John Hick hendak mengatakan bahwa semua agama salah karena mereka memahami Tuhan secara parsial. Atau jika disebut benar, benarnya hanya menurut persepsinya masing-masing sesuai dengan kemampuan mereka memahami. Artinya, SEMUA AGAMA TIDAK ADA YANG BENAR DAN OLEH KARENA ITU TIDAK SATU AGAMA PUN BERHAK MENGKLAIM AGAMANYA SAJA YANG PALING BENAR. Inilah relativisme agama.

Aliran kedua adalah aliran kesatuan transenden agama-agama yang dipelopori oleh Seyed Hosein Nasr. Di dalam aliran ini setiap agama dipandang sebagai jalan-jalan yang berbeda untuk mencapai Tuhan yang sama. Semua agama pada level esoterik (transenden) pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, hanya saja pada level eksoterik (syariat) saja yang berbeda. Aliran ini mengingatkan kita pada pepatah “Banyak jalan menuju Roma”. Artinya, SEMUA AGAMA SAMA BENARNYA KARENA MENUJU TUHAN YANG SAMA.

Pluralisme Agama = Pemusnahan Agama

Yang mengherankan, para pengusung pluralisme seringkali menuntut paham ini diterima oleh semua kalangan. Dan bagi yang menolaknya, khususnya dari kalangan Islam seperti MUI, dituduh dengan stigma-stigma buruk seperti anti-toleran, sektarian, fundamentalis, eksklusif dan berbagai cercaan lainnya. Mereka juga menuduh para penentang pluralisme sebagai orang yang mau benarnya sendiri dan memaksakan pendapat, padahal merekalah yang mau benarnya sendiri, memaksakan pluralisme diterima oleh semua orang. Kalau mereka konsisten dengan relativisme kebenaran, seharusnya mereka dulu yang pertama kali menerima bahwa diantara manusia ada yang setuju dengan pluralisme, dan ada pula yang tidak setuju dengan pluralisme agama.

Dengan demikian, pluralisme sebenarnya tak ubahnya sebuah agama baru karena inti agama adalah klaim kebenaran (truth claim), dan karena pluralisme mengatakan agama-agama lain salah sedangkan ia sendiri benar dengan sendirinya ia adalah agama baru. Pluralisme adalah sebuah GLOBAL THEOLOGY yang berdiri di atas agama-agama lain.

Maka tidak heran, Dr. Anis Malik Thoha, menyebut bahwa visi final dari pluralisme agama ini adalah “terminasi agama-agama”, artinya jika paham ini diterima oleh semua orang maka itu berarti kemusnahan agama-agama, karena tidak ada lagi keyakinan terhadap kebenaran agama. Dengan demikian, kalau semua orang beragama mau berpikir mendalam, mereka akan sampai pada keseimpulan bahwa sebenarnya pluralisme agama merupakan ancaman bagi semua agama.

Pluralisme Agama Bertentangan dengan Logika Sehat

Bagi muslim, bahkan sebenarnya bagi semua umat agama baik Kristen, Hindu, Budha dan lainnya, kedua pandangan ini sama merusaknya. Secara LOGIKA SEHAT, jika kita sepakat dengan apa yang diajarkan John Hick bahwa semua agama “ngawur” maka tidak ada lagi gunanya beragama, karena kita semua tidak akan sampai kepada kebenaran. Mungkin, lebih baik ateis saja karena beragama hanya akan mengekang diri dengan berbagai aturan seperti kata Jean-Paul Sartre (1905-1980): “even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.”

Demikian juga dengan ide bahwa semua agama sama benarnya karena menuju kepada Tuhan yang sama, lalu untuk apa kita memilih agama kita, toh semua sama baiknya. Kalau begitu lebih baik memilih agama yang paling gampang, yang tidak banyak larangannya, yang sedikit perintahnya. Jika kita mengambil contoh yang paling ekstrim, misalnya bagi mereka yang senang berzina, tentu dia lebih cocok dengan agama yang tidak ada larangan berzina. Demikian juga yang hobi judi dan mabuk, tinggal cari saja agama yang membolehkannya. Apakah ada agama yang seperti itu? Banyak sekali. Beberapa aliran sesat yang pernah beredar di Indonesia ada yang seperti itu. Pemimpin sempalan Kristen yang mati digrebek FBI, David Koresh, juga mengajarkan ajaran seperti itu. Bagi yang pernah membaca karya Dawn Brown, “Da Vinci Code”, dengan mudah menyimpulkan bahwa hal itu tidak sulit mencarinya. Bahkan, kalau benar-benar tidak ada, tinggal karang saja agama baru, kemudian katakan kepada orang-orang bahwa ini adalah ilham dari Tuhan.

Penutup

Kita harus membedakan antara pluralisme dan pluralitas. Seorang muslim tidak patut bahkan ia tengah berada di jurang kekufuran jika menerima pluralisme agama, karena hal itu bertentangan dengan aqidahnya. Telah jelas di dalam aqidah Islam bahwa tidak ada agama yang diridhai selain Islam (Ali ‘Imran : 19) dan tidak ada jalan keselamatan di luar Islam (Ali ‘Imran : 85).

Dan bila seorang muslim meyakini hal ini tidak berarti bahwa ia menegasikan tidak mengakui eksistensi agama lain seperti yang yang jelas dikemukakan Al Quran “laa ikraha fiddiin” (tidak ada paksaan dalam beragama, Al-Baqarah : 256) dan “lakum diinukum waliyadiin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku, Al Kaafiruun : 6). Islam juga tidak keberatan klaim kebenaran agama lain, seperti halnya doktrin Gereja Katholik bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja, karena itu adalah haknya Kristiani. Islam mengakui pluralitas (keberagaman) , tapi tidak untuk pluralisme.

Jika klaim kebenaran ini dicerca bahkan dilarang maka apa artinya beragama, dan karena inti dari agama adalah keyakinan, dan jika keyakinan ini diragukan atau hilang maka hilang pulalah agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar